Ironi Kemakmuran (Bag 3); Membangun Asa Petani Sejahtera 

Admin, Published at 7/25/2021

Sumber: Lukisan Josias Cornelis Rappard (Dibuat tahun 1881-1883)

"Tugas kebijakan publik adalah membangunkan rakyat, sehingga rakyat yang biasa-biasa saja, bekerja menjadi luar biasa, membuahkan hasil yang luar biasa pula. Bukan sebaliknya, membuat rakyat yang biasa hidup susah semakin bertambah susah."
-Riant Nugroho-

Hingga kini citra kemiskinan masih melekat pada sektor pertanian. Bukan tanpa alasan, karena memang harus diakui, angka kemiskinan tertinggi di daerah - bahkan secara nasional - hingga kini masih didominasi dari sektor pertanian. Berdasarkan data Survei Antar Sensus (Sutas) Pertanian 2018, penduduk Bojonegoro yang bekerja di sektor pertanian, mencapai angka 26 persen, peringkat ke-3 terbesar di Jawa Timur. Sementara jika dihitung berdasarkan jumlah rumah tangga di Bojonegoro yang memiliki usaha utama di sektor pertanian, angkanya mencapai 69.2 persen. 

Dari sini cukup menggambarkan, jika sektor pertanian adalah basis perekonomian penduduk Bojonegoro. Ironisnya, meskipun jumlah pekerja di sektor pertanian cukup signifikan, dan berkontribusi besar terhadap penyerapan angkatan kerja di daerah, namun hal ini kontras dengan kondisi kesejahteraan pekerja di sektor pertanian yang hingga kini masih memprihatinkan, sehingga membutuhkan perhatian banyak pihak, terutama pemerintah selaku pembuat kebijakan (Policy maker). Potret kemiskinan sektor pertanian ini ditunjukkan dari hasil analisis data kemiskinan mikro (Pemutakhiran Basis Data Terpadu, 2019) yang menggambarkan; penduduk Bojonegoro yang bekerja dengan status kesejahteraan terendah adalah mereka yang bekerja di sektor pertanian - baik sebagai petani maupun buruh tani - angkanya mendominasi, sekitari 68.5 persen, jauh dibanding jenis profesi/pekerjaan lainnya.

Kondisi ini bagaikan ironi di tengah gegap gempita pembangunan daerah yang belakangan ini nampak gemebyar. Wajar memang, gegap gempita eskalasi pembangunan ini bergeliat, mengingat nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Bojonegoro dalam beberapa tahun ini meningkat drastis, terlebih lagi dalam kurun dua atau tiga tahun belakangan ini, total nilai belanja daerah (APBD) menempati peringkat tertinggi No. 3 dari kabupaten se-Indonesia. Besarnya APBD Bojonegoro, ini tidak lepas dari adanya kegiatan industrialisasi minyak dan gas bumi (migas) di daerah yang sudah dalam masa puncak produksi dalam tahun-tahun ini, sehingga menyebabkan pendapatan daerah dari Dana Bagi Hasil (DBH) migas cukup besar, menambah pundi-pundi keuangan daerah.

Namun, sebagai sektor perekonomian basis masyarakat di daerah, adanya gegap gempita pembangunan tersebut ternyata tidak terlalu berdampak signifikan pada sektor pertanian, atau peningkatan kesejahteraan petani. Kantong-kantong kemiskinan di daerah mayoritas masih diisi petani dan buruh tani. 

Memang, tidak semua petani itu miskin. Ada juga petani yang sejahtera - walaupun jumlahnya tidak signifikan. Sebagaimana tergambar dari data di atas, yang cukup menunjukkan kondisi mayoritas penduduk miskin (tingkat kesejahteraan terendah) di daerah adalah para pekerja di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani. Muncul pertanyaan; mengapa ada petani sejahtera, namun mayoritas petani berada dalam garis kemiskinan (tidak/kurang sejahtera)?

Untuk menjawab pertanyaan ini, memang diperlukan suatu penelitian secara mendalam dengan disertai data dan bukti-bukti yang ada. Namun, sebagai pembacaan awal saya mencoba menjawabnya dengan menggunakan pendekatan teori kemiskinan yang sudah banyak dikenal dan dibicarakan. Salah satunya teori penyebab kemiskinan yang dikemukakan oleh John Friedman. Menurut Friedman, kemiskinan terjadi karena adanya ketidak-mampuan seseorang mengakumulasi “lima basis kekuasaan sosial”, yakni: Pertama, modal produktif atas asset, misalnya tanah, alat produksi dan lainnya. Kedua, sumber keuangan (modal), seperti income dan kredit yang memadai. Ketiga, organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama. Keempat, jaringan sosial (network) untuk memperoleh akses pengetahuan dan ketrampilan yang memadai. Kelima, informasi-informasi yang berguna untuk kehidupan. 

Dalam konteks pertanian, kelima basis kekuasaan sosial ini memang sulit dipenuhi oleh para petani kecil atau petani yang masuk kategori miskin. Pertama; modal produktif (tanah, peralatan, dll). Rata-rata petani di daerah hanya menguasai lahan pertanian kurang dari 0.5 hektar, sehingga masuk dalam kategori petani gurem. Alat produksi mereka pun masih sederhana (teknologi terbatas), kalaupun mereka sudah memakai teknologi, seperti mesin pembajak tanah dan mesin pemanen, itu pun sewa dengan biaya yang tidak murah. 

Kedua, sumber keuangan. Petani gurem juga memiliki keterbatasan modal finansial, sehingga terkadang untuk menopang biaya produksi mereka meski berhutang dulu pada tengkulak maupun lembaga kredit dengan bunga tinggi. Ini yang kemudian menyebabkan saat memasuki masa panen, petani tidak memilki kemandirian harga. Mereka butuh uang cepat (fast money) karena adanya tuntutan harus segera bayar hutang kepada tengkulak ataupun kreditor. Selain itu, jeda panen yang lumayan lama (3-4 bulan untuk tanaman padi), sedangkan sehari-hari juga membutuhkan belanja pengeluaran. Jika manajemen keuangan kurang bagus, mereka akan hutang dulu, dibayar setelah panen.

Ketiga, organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama. Ini juga terasa sangat sulit dipenuhi oleh para petani kecil, meskipun mereka tercatat sudah tergabung dalam kelompok tani. Tapi realita di lapangan menunjukkan, kelompok tani atau gabungan kelompok tani ini kurang-tidak berjalan sebagaimana mestinya. Terkadang kelompok/gabungan kelompok tani hanya didominasi oleh ketua atau pengurus tertentu, biasanya dijabat oleh orang-orang yang secara kapital lebih kuat dibanding anggota lainnya. Bahkan ada beberapa temuan, bantuan mesin pertanian dari pemerintah hanya dipakai dan dimanfaatkan oleh ketua kelompok tani saja. Sehingga dari sisi aspek pemanfaatannya, bantuan mesin tersebut tidak ‘mengena’ atau bisa dibilang; tidak tepat sasaran.

Padahal, organisasi petani sebenarnya memiliki peran strategis. Misalnya, menjembatani aspirasi petani terkait kebijakan pemerintah, seperti kebijakan impor-ekspor bahan pangan, kebijakan pupuk subsidi, insentif untuk petani dan lainnya. Organisasi petani dengan sejumlah anggota yang ada, juga semestinya bisa jadi wadah konsolidasi, semisal konsolidasi lahan dan hasil pertanian, agar hasil pertanian mereka bisa menembus pasar langsung. Sebab, jika masing-masing petani berjalan sendiri-sendiri, hasil pertanian mereka belum bisa memenuhi standar pasar, baik dari sisi kuantitas, kualitas, kontinuitas pasokan, dll. Oleh karenanya, jika peran dan fungsi organisasi petani ini bisa dioptimalkan, maka ia bisa jadi wadah konsolidasi aspirasi kepentingan sampai pada pemenuhan target pasar-konsumen langsung. Jika ini berhasil, maka petani tidak hanya ‘bermain’ pada wilayah produksi saja, tetapi juga paska panen; seperti produksi beras kemasan, hingga produk semi olahan dan lainnya.

Keempat, jaringan sosial (network). Basis kekuasaan sosial ini juga sulit dipenuhi oleh petani kecil-miskin. Sehingga dengan adanya keterbatasan jaringan sosial ini, menyebabkan mereka memiliki keterbatasan akses pengetahuan dan keterampilan, termasuk akses jaringan pasar. Petani kecil tidak bisa langsung menjual hasil pertaniannya ke pasar-konsumen, sehingga mereka sangat tergantung pihak perantara atau tengkulak yang sudah menguasai jaringan dan akses pasar. Ketika hasil pertanian petani kecil di-block atau tidak dibeli oleh tengkulak, maka ia akan sangat kesulitan menjual hasil panennya. Padahal ia membutuhkan uang cepat (fast money) untuk menutupi kebutuhan hidup, termasuk bayar hutang dan lainnya. Selain itu ada faktor lain, dimana petani kecil juga tidak memilki lahan atau alat pengering untuk hasil pertanian (seperti padi), sehingga harus segera menjual hasil panen mereka. 

Kelima, akses informasi yang berguna dan memberi dampak kemajuan. Petani kecil-miskin juga punya keterbatasan terhadap akses informasi. Secara mental, petani kecil terkadang merasa minder untuk, misalkan, akses informasi ke instansi pemerintah terkait program atau lainnya. Terlebih lagi jika pelayanan keterbukaan informasi di instansi terkait masih sangat tertutup. Jadinya, informasi penting (misal informasi program insentif, dll) ini pun lebih bayak diakses oleh para petani, yang memiliki tingkat sumber daya (pengetahuan, skill, jaringan, sarana mobilitas, dll) lebih mumpuni.

Inilah lima basis kekuasaan sosial yang sulit diakumulasi-dipenuhi oleh para petani gurem; petani kecil-miskin. Kondisinya jauh berbeda, dengan para petani yang masuk kategori sejahtera (kaya) yang memiliki-menguasai sumber-sumber daya ekonomi. Secara struktur sosial, mereka ini sangat memungkinkan mengkonsolidasi semua basis kekuasaan sosial tersebut.

Oleh karenanya, lingkaran kemiskinan dalam sektor pertanian ini membuat petani gurem (kecil-miskin) makin tidak berdaya, mereka memiliki keterbatasan pengetahuan, pendidikan, akses informasi, jaringan (network) hingga dukungan stuktur sosial-politik yang ada. Kita bisa menyebut kemiskinan mereka sebagai kemiskinan buatan (kemiskinan struktural). Berbeda dengan kemiskinan kultural, yang melihat kemiskinan dari aspek budaya, etos kerja, dan lainnya, kemiskinan struktural memandang kemiskinan terjadi karena adanya ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan faktor-faktor produksi (seperti tanah, teknologi, dan bentuk kapital atau sumber daya ekonomi lainnya). 

Adanya ketimpangan struktural ini, satu sisi memunculkan kaum elit yang menguasai banyak sumber-sumber daya ekonomi. Jurang ketimpangan makin curam, manakala para elit ini mampu mengkonsolidasi sumber daya yang ada, termasuk institusi sosial dan politik, sehingga sumber-sumber daya ekonomi yang mereka kuasai semakin membesar. Sementara di sisi yang lain, petani gurem-miskin, makin tidak berdaya. Kehidupan mereka makin tergantung oleh kaum elit. Ibarat pepatah, "yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin".

Proses ini berjalan lama, bertahun-tahun, semakin mengkristal, meng-hoyot (mengakar), sehingga butuh kekuatan ‘ekstra’ untuk membongkarnya. Terkait ketimpangan distribusi lahan bahkan sudah terjadi sebelum era kolonialisme di Indonesia, sebagaimana pendapat Husken dan White (1989) yang menyebut bahwa sebelum adanya penguasa asing pun pada masyarakat pedesaan telah terbentuk tiga kelas penguasaan lahan. Pertama, kelompok besar petani tunakisma yang seringkali menumpang pada keluarga petani pemilik lahan. Kedua, kelompok petani yang menguasai lahan, terutama sikep dan elit lainnya. Ketiga, kelas pamong desa yang menguasai lahan milik pribadi atau sikep dan menguasai sejumlah besar lahan desa sebagai upah mengatur pemerintahan (Endang Suhendar, 1995).

Dari catatan de Vries juga menggambarkan, beban hidup masyarakat Jawa, selain beban pajak yang lebih berat, iuran uang dan tenaga wajib kerja untuk pemerintah otonom desa, ada juga penyerahan tanah untuk pamong desa, pemerintah kasultanan dan tuan-tuan tanah “tanah partikelir” (de Vries, 1985). Bahkan seorang ilmuan yang juga meneliti kondisi perekonomian Indonesia - masa Hindia Belanda, Julius Herman Boeke, menilai jika kapitalisme di Jawa berbeda dengan kapitalisme di Eropa, karena kapilasme di Jawa berlawanan dengan perkembangan di Barat lantaran ia berfungsi sebagai kekuatan kreatif yang dapat memberikan pengaruh dalam memperkokoh dan meningkatkan perkembangan teknologi dan ekonomi massa yang luas (Mahesti Hasanah, 2015).

Dari catatan di atas dan catatan sebelum-sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwasanya problem kemiskinan di sektor pertanian ini sangat kompleks. Dilihat dari faktor penyebabnya, terdapat faktor kemiskinan struktural, kemiskinan alamiah (faktor bencana, irigasi minim, dll.), dan juga faktor kemiskinan natural, yakni kemiskinan yang disebabkan oleh keterbatasan sumber daya manusia (meliputi pendidikan, kesehatan, dan lainnya), hingga faktor kemiskinan kultural. Semua ini pada dasarnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyelesaikannya, termasuk dalam hal mengeliminasi faktor ketimpangan sosial yang menyebabkan kemiskinan dan ketimpangan sosial semakin tajam. 

Kehadiran atau campur tangan pemerintah disini – baik pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pemerintah desa - adalah suatu keniscayaan. Tidak bisa pemerintah beranggapan, nanti bakal muncul “invisible hand”, sebagaimana diyakini oleh para penganut teori ekonomi klasik, bahwa individu dan pasar memiliki kemampuan meregulasi-bergerak sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Teori ini nyata-nyata sudah gagal dalam kancah global. 

Kehadiran pemerintah dalam percepatan pembangunan sektor pertanian dan penanggulangan kemiskinan dapat diwujudkan melalui otoritas atau kewenangan yang dimilikinya, diantaranya membuat kebijakan (public policy), seperti kebijakan fiskal (anggaran), termasuk menyusun dan menjalankan strategi dan program pembangunan - mulai jangka panjang, menengah, hingga tahunan. Untuk memajukan sektor pertanian dibutuhkan visi dan komitmen yang kuat dari para pihak, terutama pemerintah (Pusat maupun Daerah) selaku policy maker (pembuat kebijakan), dibutuhkan politik nasional-daerah yang menjadikan sektor pangan sebagai sektor ekonomi strategis. Pertanian adalah sejarah masa lalu dan sejarah masa depan negeri ini.

Sebagai pembanding, negara tetangga, Thailand, sudah jauh melangkah dengan mendeklarasikan diri sebagai: Dapur Dunia (Kitchen of The World). Untuk mewujudkan visi besar ini, pemerintah Thailand mengambil langkah-langkah progresif; mereka memberi berbagai insentif untuk sektor pertanian, mereka mendatangkan ahli-pakar pertanian untuk membantu dan mendampingi petani, menerapkan konsep konsolidasi lahan untuk petani-petani kecil, fasilitasi akses pasar internasional, strategi gastrodiplomasi juga diterapkan dengan baik, dll. Terbukti, kini Thailand menjadi negara eksportir hasil pertanian (beras) terbesar No.1 di dunia. Seperti tidak mau kalah dengan Thailand, pemerintah Filipina sejauh ini pun cukup getol menggalakkan pertanian organik, bahkan mereka membuat standar pertanian organik yang lebih tinggi dibanding standar internasional.

Terkait visi dan jargon, sebenarnya Bojonegoro pernah memperkenalkan diri sebagai: “Lumbung Pangan”, tapi sepertinya masih sebatas jargon, belum diintegrasikan dalam kebijakan hingga strategi dan program pembangunan. Ibarat balapan lari, masih cukup tertinggal jauh. Lalu, apa yang musti dilakukan untuk akselerasi pembangunan sektor pertanian di daerah? (Bersambung)

 

*Penulis: Aw. Syaiful Huda, peneliti bojonegoro institute Initiative (bi) dan seorang petani di desa kecil yang jauh dari perkotaan.

Share Link: