Peringatan Hari Ibu dan Tantangan Perempuan di Daerah Saat Ini
Admin, Published at 12/22/2020

Sumber: Tim bi
Bojonegoro – Di Indonesia, setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu. Peringatan Hari Ibu (PHI) ini ditetapkan oleh Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 Tahun 1959. Penetapan tanggal 22 Desember tersebut adalah merujuk pada pelaksanan Kongres Perempuan Indonesia I tanggal 22 Desember 1928.
“Agar Kongres Perempuan I, pada tanggal 22 Desember 1928 ini selalu dikenang dan dihayati sebagai peristiwa penting dari sejarah perjuangan perempuan Indonesia untuk mengubah nasib dan memperjuangkan hak-haknya,” ungkap Ainur Rodhiyah, Sekretaris Korp Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI) Bojonegoro.
Menurut Iin, panggilan akrabnya, dari kurun waktu antara pelaksanaan Kongres Perempuan I hingga saat ini (2020), maka terhitung sudah 92 tahun lamanya. Namun, kondisi perempuan hingga saat ini masih dihadapkan pada banyak permasalahan, seperti tindak kekerasan, subordinasi dan lain sebagianya. Mantan Ketua Komisariat PMII Sunan Giri Bojonegoro ini menyebutkan, berdasarkan data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, dari 2011-2019, setiap dua jam sekali setidaknya ada tiga perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan seksual.
Ia pun menambahkan, pada aspek pengarusutamaan gender dalam penyusunan perencanaan dan anggaran pembangunan daerah, pelibatan partisipasi perempuan selama ini juga masih minim. “Pada aspek partisipasi dan akses pembangunan, pelibatan partisipasi perempuan dalam perumusan kebijakan atau penyusunan perencanaan pembangunan selama ini masih sangat minim”.
Padahal menurutnya, pelibatan partisipasi perempuan dalam perumusan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan daerah sangat diperlukan agar pembangunan daerah lebih responsif gender, inklusif (ramah) terhadap kelompok masyarakat rentan dan marginal. “Dengan pelibatan partipasi perempuan dalam penyusunan perencanaan, kebijakan, prgram kegiatan pembangunan akan lebih responsif gender”.
Sementara itu, peneliti Bojonegoro Insitute (bi), Aw Syaiful Huda, mengungkapkan bahwa kesenjangan sosial berbasis gender di Kabupaten Bojonegoro masih cukup tinggi. Seperti pada akses kesehatan, akses pendidikan, akses ekonomi atau besaran pendapatan dan aset, akses keterlibatan dalam perumusan kebijakan ataupun perencanaan pembangunan dan lain sebagainya.
“Angka Kematian Ibu (AKI) di Kabupaten Bojonegoro masih sangat tinggi, berada diurutan tertinggi No. 2 di Jawa Timur,” kata Awe, panggilan akrabnya.
Awe juga menyebutkan beberapa kesenjangan gender di Kabupaten Bojonegoro. Diantaranya, tingkat rata-rata lama sekolah dan kemampuan daya beli perempuan masih rendah.
“Rata-rata sumbangan perempuan terhadap pendapatan keluarga di Kabupaten Bojonegoro, sekitar 26.27 persen, sedangkan laki-laki sebesar 73.73 persen,” ujarnya.
Rendahnya kontribusi perempuan terhadap pendapatan keluarga ini menyebabkan kerentanan bagi perempuan, seperti tindak kekerasan, kemiskinan, akses kesehatan dan lainnya. Meskipun kontribusi perempuan terhadap pendapatan keluarga lebih kecil, Awe tidak menampik bahwa perempuan sering mendapati beban ganda (double burden) pekerjaan dalam keluarga, artinya pada satu sisi perempuan mengerjakan pekerjaan domistik, pada sisi yang lain juga mengerjakan pekerjaan di luar domistik, seperti mencari pendapatan tambahan untuk keluarga.
“Kalau dihitung, beban kerja perempuan lebih lama tetapi kontribusi pendapatan perempuan lebih kecil, ini menyebabkan kerentanan. Inilah kenapa pendidikan kesetaran gender menurut saya penting. Selamat hari ibu," pungkasnya.